Revolusi Pendidikan Seks Indonesia

Seorang pejabat Provinsi DIY bertemu dengan puluhan remaja yang baru saja selesai ujian tentang "Keluarga Berencana" dan siswa menanyakan kepada pejabat tersebut tentang kurangnya pendidikan seks di sekolah-sekolah mereka.

Seorang siswa mengangkat sebuah poster bertuliskna "Kita hanya hidup sekali, mengapa harus menikah dini ?", Maksudnya merujuk pada sebuah fenomena umum, yaitu para remaja dipaksa menikah karena kehamilan yang tidak direncanakan.


pendidikan seks

Sumarsono, kepala Kesehatan Reproduksi pada Perempuan dan Lembaga Pemberdayaan Sosial Yogyakarta menjawab bahwa kurikulum sekolah sudah kelebihan beban.

"Karena keterbatasan dalam kurikulum, usaha kami sekarang adalah membuat pendidikan seks menjadi sebuah kegiatan ekstrakurikuler," katanya.

Pertemuan ini merupakan bagian dari upaya yang lebih besar untuk mendorong undang-undang agar pendidikan seks menjadi bagian wajib dari kurikulum nasional. Yogyakarta, adalah sebuah kota pendidikan yang terkenal dengan banyaknya jumlah siswa dan kehidupan budaya, yang selama ini berada di garis depan dalam revolusi pendidikan seksual.

Kami mencoba untuk memastikan agar informasi-informasi ini menjangkau khalayak yang lebih luas, Andreas Nugahita, siswa 13 tahun yang menghadiri pertemuan itu mengatakan : "Semakin banyak dipahami orang, maka mereka akan semakin bertanggungjawab atas perilaku seksual mereka sendiri. Dan ini bisa mengubah sikap remaja terhadap seks di seluruh Indonesia."

Andreas adalah salah satu dari ratusan siswa yang telah dilatih sebagai pendidik untu usia sebaya oleh PKBI DIY, Harapannya agar mereka dapat menyampaikan informasi tentang HIV / AIDS, kontrasepsi dan orientasi seksual kepada teman sekelas mereka. Selama ini sebagian besar remaja mendapatkan pengetahuan tentang seks melalui internet.

"Di Indonesia , seks dianggap tabu, dan akibatnya seks ditutupi dengan rapat." Demikian kata Mariana Amiruddin, direktur eksekutif "Jurnal Perempuan".

"Orang-orang perlu tahu bahwa kurangnya pengetahuan benar-benar akan menghacurkan para remaja", demikian tandas Dyana Savina Hutadjulu, petugas program untuk hak-hak seksual dan reproduksi di Hivos, sebuah lembaga pembangunan global. "Mengapa kami tetap berpandangan konservatif seperti ini, karena selama beberapa generasi ini, seks dianggap sebagai sesuatu yang buruk."

Hutadjulu mengatakan bahwa menjadikan pendidikan seks sebagai mata kuliah wajib akan menjadi tugas yang sangat berat di negeri ini.

Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada 2011 lalu menunjukkan, di antara remaja yang berusia di kisaran antara 15 – 24 tahun, hanya 20% yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV. Sehubungan dengan ini, dr Nafsiah mengatakan perlu adanya perbaikan dramatis.

"Saya pikir, kita harus menjangkau kaum muda- dan menurut saya mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi terkait."demikian tandasnya saat diwawancarai dalam sebuah briefing media yang diselenggarakan pada Oktober lalu oleh U.N. AIDS, PBB. Tahun lalu, ia meluncurkan sebuah gerakan yang menyerukan agar kelompok berisiko tertular HIV untuk menggunakan kondom, namun, gerakannya memicu perlawanan publik ; belakangan, ia mencabut dukungannya terhadap pendidikan seks.

Maesur Zacky, Direktur PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) Yogyakarta mengatakan, bahwa walikota Kulon Progo tengah berupaya menggalakkan agar pendidikan seks menjadi mata pelajaran wajib di sekolah ; jika berhasil, maka kota itu akan menjadi wilayah administrasi pertama di Indonesia yang menjalankan pendidikan seks di sekolah. Terkait undang-undang yang mengizinkan sekolah memasukkan kurikulum pendidikan seks, wali kota telah memberikan dukungan terkait, namun, ditentang oleh Departemen Pendidikan setempat.

"Ada pun mengenai kesehatan reproduksi, orang-orang harus memiliki pemahaman yang lebih baik," walikota Hastro Wardoyo mengatakan : "Akan lebih baik jika itu menjadi bagian dari kurikulum, tapi yang penting harus mengajarkan pengetahuan itu kepada para siswa."

Sri Mulatsih, kepala Departemen Pendidikan setempat mengatakan bahwa kurikulum itu harus diuji terlebih dahulu. "Sebelum memastikan program itu sesuai atau tidak, kami tidak berani gegabah meluncurkannya, sebab hal itu sangat berisko," demikian imbuhnya.

"Ini adalah masalah yang pelik," kata Zaky, sekaligus menjelaskan bahwa jika para pejabat terkait menganjurkan para remaja untuk mengambil langkah-langkah aman dalam hubungan seks, maka mereka akan dianggap mendorong pergaulan bebas : "Mereka (pejabat) tidak ingin dicap sebagai pejabat yang tidak bermoral." Demikian tandasnya.

PKBI DIY telah memberikan pendidikan seks sejak tahun 2008. Lebih dari 50 sekolah di Provinsi Yogyakarta telah sepakat untuk mulai menggunakan kurikulum organisasi tersebut, yang mencakup pelajaran tentang kontrasepsi dan penyakit menular seksual. Untuk mempromosikan secara nasional, kurikulum Yogyakarta telah menggunakan suatu model yang lebih longgar.

Tahun lalu, PKBI DIY mulai mengadakan lokakarya untuk mengajarkan orangtua bagaimana bersama dengan anak-anak membahas masalah yang berkaitan dengan seks yang aman.

"Kami tidak akan membahas topik ini dengan orangtua," demikian kata Farah Suhailah, seorang penyuluh sebaya yang berusia 15 tahun di kelas pelatihan keluarga berencana : "Jika guru terkait membahas masalah ini, maka mereka akan merasa tidak nyaman."

Pembela hak-hak reproduksi memperingatkan bahwa rendahnya kesadaran tentang seks dan seksualitas dapat memicu peningkatan kasus HIV, kehamilan yang tidak diinginkan, pernikahan dini dan aborsi yang tidak aman.

"Kita harus meyakinkan para guru untuk menjadi berani dan sensitif dengan menunjukkan fakta-fakta," kata Zaky.

Sebuah studi tahun lalu oleh Departemen Kesehatan menemukan bahwa 42 persen pasien yang terinfeksi HIV / AIDS berusia antara 20 tahun sampai 29 tahun. Sebuah survei yang diselenggarakan oleh organisasi kesehatan internasional pada tahun 2011 untuk Hari Kontrasepsi Dunia menunjukkan bahwa hampir setengah dari orang Indonesia yang disurvei menyatakan bahwa teman baik mereka atau kerabat mereka pernah mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dalam beberapa tahun terakhir ini, dan secara perbandingan jauh lebih tinggi daripada Thailand, India atau Tiongkok.

Michelle Bachelet, direktur eksekutif Women PBB, yang mengunjungi Jakarta pada Desember tahun lalu untuk menghadiri pertemuan tentang hak-hak perempuan, mengatakan pada saat itu : "Kalau kita lihat fakta-fakta yang ada, kita melihat bahwa orang-orang muda mulai menjalani kehidupan seksual di usia muda, mereka kurang mengetahui informasi terkait, dan membuat pilihan yang buruk."

Inna Hudaya, Direktur Samsara, sebuah organisasi yang berbasis di Yogyakarta yang menyediakan konseling dan saran, terutama untuk anak perempuan tentang seks aman dan aborsi, mengatakan bahwa membahas tentang kehamilan yang tidak diinginkan untuk membuka pintu diskusi pada isu-isu lainnya.

"Banyak anak muda tahu bagaimana melakukan hubungan seks, tetapi mereka tidak tahu konsekuensinya." Katanya.

Samsara memiliki sekolah kesehatan seksual dan reproduksi ; Mereka melakukan lokakarya di tingkat desa, tidak hanya berbicara tentang bentuk tubuh, tetapi juga untuk mengajarkan para perempuan tentang bagaimana melakukan pemeriksaan kanker payudara sendiri."Pendidikan seks bukan hanya tentang biologi," kata Zoya Amirin, seorang seksolog yang menulis buku untuk menghilangkan mitos umum tentang seks. "Mungkin ia akan mengajarkan Anda tentang reproduksi, tetapi tidak akan mengajarkan Anda tentang bagaimana mengatakan tidak terhadap perilaku seks pranikah, tidak akan mengajarkan kepada Anda tentang bagaimana cara mengutarakannya kepada teman pria / wanita Anda, " Saya rasa saya perlu menunggu waktu sampai saya benar-benar siap baru boleh terjadi hubungan seks."