Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengakui pihaknya baru saja melakukan terobosan data kependudukan (KTP) yang lebih canggih pada 2010. Padahal Indonesia sudah merdeka sejak 69 tahun.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, H Irman mengatakan, keluhan identifikasi data kependudukan dari seorang warga negara datang dari banyak instansi, baik swasta maupun pemerintahan.
Kondisi tersebut, kata dia, menimbulkan tanda tanya besar terkait keabsahan identitas warga serta dapat mengganggu pelayanan publik.
"Penyebab semua itu, karena kelemahan dari Kemendagri. Kami tidak bisa memastikan, meyakinkan semua pihak bahwa data yang kami sediakan sudah valid dan dipastikan ketunggalannya. Jadi kesulitan pelayanan publik akibat Kemendagri," terang dia saat Penandatanganan Perjanjian Kerjasama Kemendagri dengan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (25/8/2014).
Sebagai upaya pembenahan, Imran menambahkan, pihaknya mulai melakukan langkah cepat mengubah sistem data kependudukan melalui perekaman retina mata dan sidik jari dari warga negara lewat KTP elektronik (KTP-el atau biasa disebut e-KTP).
"Kami efektif melakukan perubahan mendasar data sejak 2010, jadi baru tiga tahun lebih meskipun ini perlu perjuangan keras. Padahal kita merdeka sudah 69 tahun lamanya dan baru bisa memberikan pelayanan publik yang efektif," lanjutnya.
Dengan KTP elektronik, Imran mengklaim, ketunggalan data penduduk dapat terwujud. Pasalnya dengan jumlah penduduk terbesar nomor empat di dunia, Indonesia rawan dengan data penduduk ganda. Hal ini yang kerap dikeluhkan banyak instansi sehingga menghambat pelayanan publik.
"Saat ini sudah 95 persen dari warga negara berusia 17 tahun sekira 190 jutaan orang sudah melakukan perekaman pada KTP elektronik. Sedangkan sisanya 5 persen belum melakukan perekaman. Tapi dengan KTP elektronik belum bisa menjamin data tunggal 100 persen walaupun sudah ada sistem data kependudukan yang online ke pusat," pungkasnya.
Sumber : Liputan6.Com